kritik dan saran


Free chat widget @ ShoutMix
News Update :

Random Template

Popular Template

Text

mendraist

mendraist
hidup bukan untuk memperjuangkan diri sendiri

Archives

Blogger News

Selamat datang di blog "mendra digital diary." Silahkan tinggalkan kesan dan pesan Anda pada kolom kritik dan saran di samping ini. Satu lagi, jangan lupa untuk mengisi polling hari ini. Terima kasih.

Yahoo Messenger News

Education is the way to change your habit (azizul mendra:2009)

kenapa harus memaksakan diri?

Rabu, 07 Mei 2008 Rabu, Mei 07, 2008

mengapa harus memaksakan diri? tadi sore aku melihat ibu itu membawa anaknya ke sebuah production house (selanjutnya disebut PH) yang katanya juga merupakan sekolah untuk mengasah bakat dan ujung-ujungnya mendapatkan popularitas dan materi yang berlimpah. ibu itu datang bersama anak perempuannya. umur ibu itu kira-kira 40-an tahun, tapi wajahnya sudah lebih tua daripada umurnya karena secara kasat mata aku melihat bahwa penuaan dini itu terjadi lantaran susahnya memperjuangkan kehidupanlah yang membuatnya seperti itu. dan anaknya, kira-kira berumur 8 tahun.
dia bercerita dengan pemilik PH tentang uang yang harus dikeluarkan untuk sekolah anaknya itu. ternyata untuk tiga bulan belajar si ibu harus mengeluarkan 1,5 juta rupiah. angka yang tidak sedikit untuk keluarganya karena keluhan/merasa keberatan itu aku dengar saat itu. tapi, lantaran sayang pada anak dia kuperhatikan masih memaksakan diri untuk membayar dengan cara meminta kompensasi dengan cara meminta kemudahan untuk membayarnya. mungkin anaknya memang berbakat di dunia seni, begitu pikirku sehingga si ibu itu merelakan dan memaksakan diri untuk membayarnya.
anaknya tidak terlalu cantik. memang, untuk menjadi artis tidak harus cantik. kita melihat mpok atiek juga tidak cantik, omas juga tidak cantik, tapi mereka bisa menjadi artis. menjadi artis itu membutuhkan karakter yang tepat dan harus sinkron dengan dunia seni. dan itu belum bisa aku nilai dari si anak itu karena beretemu dia baru kali itu.
lama aku berfikir tentang apa yang menyebabkan bangsaku ini miskin. akhirnya aku temukan juga jawabannya yaitu tindakan atau perilaku yang konsumerisme yang tidak tepat. seperti contoh diatas, si ibu memaksakan diri untuk membayar uang yang besar kepada PH yang diyakininya mampu menjadikan anaknya sebagai asset untuk keluarga. anaknya (mungkin) dijadikan komoditas bisnis untuk mendapatkan uang. jika itu yang terjadi, maka kehancuran masa depan si anak tidak lama lagi akan muncul. bijaksananya, alangkah lebih baik jika si ibu menggunakan uang itu untuk bisnis yang lebih jelas. membuka home indsutry yang tepat dan bonafit. tapi, aku pikir dia tidak punya ilmu untuk itu. contoh yang memiskin orang indonesia lainnnya adalah membelanjakan uang untuk sesuatu yang tidak dibutuhkan. banyak keluarga di indonesia membelanjakan uangnya untuk hal yang di perlu. setiap ada uang sedikit dari hasil jerih payahnya dia beli tv, beli kulkas, beli kipas angin. padahal itu tidak kebutuhan pokok yang jika tidak di penuhi akan membunuhnya. bijaksananya lagi, lebih baik dia gunakan untuk mengembangkan usaha yang dia punya.
kebijaksanaan diataslah yang di ajarkan oleh orang kaya kepada anaknya karena menurut Robert T. Kiyosaki apa yang diajarkan ayah orang kaya tentang uang kepada anak mereka berbeda dengan apa yang diajarkan oleh ayah orang miskin tentang uang kepada anaknya sehingga si kaya menjadi lebih kaya dengan anaknya dan simiskin semakin miskin dengan perangai anaknya. ayah orang kaya mengajarkan menambah asset, ayah miskin mengajarkan menambah beban hidup yaitu dengan perilaku konsumerisme tidak tepat itu.
hari ini aku menulis ini untuk menjadi bodoh, untuk membuat penyesalan, dan untuk menjadi gila untuk diriku sendiri. bukan untukmu, bukan untuk dia, dan bukan untuk mereka. harus diingat ini adalah mendraisme, ideologi berbahaya!

hidup adalah pertanyaan

Rabu, Mei 07, 2008

lamaku perhatikan pahlawan itu. ku baca berbagai puisinya, ku baca bukunya, ku dengar suaranya, ku lihat fotonya, dan banyak hal yang kuperhatikan. ternyata, tidak dapatku mengerti apa yang dia tulis, teriakan, perjuangkan dan lakukan itu. konon kabarnya dia begitu untuk memberikan semangat perlawanan yang mewakili perasaan rakyat indonesia hari itu. andai memang begitu, bagiku dia terlalu sombong dan menjadi over confident jika itu yang memotivasinya. kenapa? baca apa yang aku tulis, ikuti apa yang aku pikirkan.
pertama. saat itu--juga saat ini--masih banyak merasa nyaman dengan kondisi seburuk apapun yang terjadi di negara ini. jika dulu ada yang merasa terjajah dan tertindas, itu hanya sebagian, bung! sebagian lainnya malah merasa nyaman dengan situasi demikian karena masih bisa makan enak, tidur pulas, dan bergembira ria mengisi hari-harinya karena dengan keparat (penjajah) itu dia berkawan bukan berlawan. tidak peduli baginya menghianati bangsa sendiri. seperti itu juga hari ini. hari ini masih banyak yang merasa nyaman dimanapun dia berada karena dilindungi oleh negara, dilindungi oleh keparat lainnya, atau anda sendiri yang melindunginya. sebagian mereka itu hari ini juga masih banyak yang tidur nyenyak dan makan enak. tidak sadar mereka bahwa juga telah menghianati bangsa sendiri, durhaka kepada ibu mereka yaitu ibu pertiwi. padahal tetanggaku ada yang tidak sanggup beli nasi, tidak dapat tidur nyenak, dan tidak punya masa depan. siapa hari ini yang pantas sebut pahlawan? maka perilakunya tidak jauh beda dengan pendahulunya itu. di depan publik mereka memainkan topeng. ironisnya, topeng yang dipakainya itu lebih dari satu. sampai kapan itu terjadi? sampai mati! jadi buat apa mengkultuskan pahlawan itu terlalu berlebihan jika yang dia perjuangkan bukan seluruh ummat, tapi sekelompok ummat saja.

kedua, ada ketidakikhlasan. masih ingat dengan kata-kata/slogan seperti ini: "djas merah" atau "djangan sekali-kali melupakan sejarah" apa gunanya ini? untuk membuat mereka harus di kenang sepanjang masa, ingin merasa di hargai keringatnya itu, dan ingin sebagainya. tuhanku, semoga kau jaga aku dari keinginan itu.

tahun ini, bangsa ini memperingati seratus tahun kebangkitan nasional. slogan itu dipajang dimana-mana. disebut dalam setiap pidato. dipakai dalam kampanye. maka, semakin dekatlah dia dengan aksi membohongi diri sendiri. untuk apa? tanya pada ombak yang menghempas tiap hari yang tidak maknai esensinya. tanya pula pada matahari yang selalu membagi cahanya siang dan malam, bukan hanya siang, bung! karena malam dia menjadi bulan yang indah itu, tapi tidak pernah kita tanyakan mengapa dia begitu. hidup adalah pertanyaan. maka, hakikat mencari pertanyaan adalah untuk mencari kebenaran. ada tiga metode mencari kebenaran itu. pertama, dengan filsafat. mencari kebenaran dengan metode ini maka kita harus menjungkirbalikan badan, memutar otak 180 derajat, dan cara gila lainnya. tapi, tidak akan pernah mendapatkan kebenaran abadi. semua di ukur dengan subjektifitas masing-masing dengan parameter relativitas sehingga hancurlah dunia ini. kedua, dengan metode ilmiah. diciptakanlah lembaga yang relevan untuk mencari kebenaran. semuanya orang-orang pilihan. tapi hasilnya hanya mampu mengkotak-kotakan pikiran ini. ada ilmu sosial dan ada ilmu alam, maka akhirnya tidak ada kesatuan (unity). ketiga, dengan agama. cara ini tidak mendewakan rasionalitas dan emosionalitas pribadi, melainkan jembatan horizontal antara kita dengan tuhan. tidak bisa di tentang, tidak bisa diperdebatkan, maka inilah kebenaran absolut. akhirnya, cara apa yang kita pilih? jawab sendiri karena kita sebagian telah memilih, tapi sebagian lainnya masih belum karena apatis dengan hal-hal seperti ini.

hari ini aku menulis ini untuk menjadi bodoh, untuk membuat penyesalan, dan untuk menjadi gila untuk diriku sendiri. bukan untukmu, bukan untuk dia, dan bukan untuk mereka. harus diingat ini adalah mendraisme, ideologi berbahaya!

Denias, senandung di atas awan

Sabtu, 03 Mei 2008 Sabtu, Mei 03, 2008

Hari ini saya minta maaf karena untuk sementara waktu belum bisa opini terhadap salah satu film terbaik sepanjang massa ini. Jadi, pujian dan opini di bawah ini hanya saya kutip dari tulisan lain. selamat membaca

Film : Denias, Senandung di Atas Awan

Sutradara : John De Rantau

Skenario : Jeremias Nyangoen, Masree Ruliat, Monty Tiwa, John De Rantau

Pemain : Albert Fakdawer, Ari Sihasale, Marcella Zalianty, Mathias Muchus, Michael Jakariminela, Audry Papilaya, Pevita Pearce

Produksi : Alenia Pictures - EC Entertainment

[Foto-foto: Alenia Pictures � EC Entertainment]

Nama saya Denias. Mama saya suruh saya sekolah. Karena dia bilang gunung takut pada anak sekolah. Demikian tulis Denias, di atas buku yang diberikan Bu Sam, guru sebuah sekolah fasilitas. Tulisan itu menyiratkan impian dan semangat dari seorang anak untuk dapat bersekolah. Impian yang juga dimiliki oleh banyak anak di Indonesia saat ini.

Film Denias, Senandung di Atas Awan ini memang film yang mengusung tema tentang dunia pendidikan. Sebuah langkah yang terbilang berani, di tengah derasnya tema pop seperti horor dan cinta remaja. Mengingat produser film ini Alenia Pictures dan EC Entertainment adalah "pemain" baru di kancah perfilman nasional. Mereka menyebutnya obsesi dan idealisme untuk menampilkan sesuatu yang jarang tersentuh dan berbeda.

Film ini berdasarkan kisah nyata dari seorang anak Papua bernama Janias yang kini bersekolah di Darwin, Australia. Sosoknya ditransfer menjadi tokoh Denias (diperankan Albert Fakdawer yang selama ini dikenal sebagai juara sebuah kontes bakat bernyanyi sebuah stasiun televise). Denias berasal dari sebuah suku yang tinggal di kaki gunung Jayawijaya yang selalu diselimuti kabut. Dari sana dia membangun cita-cita melihat dunia.

Cita-cita itu juga berkat dorongan tiga orang. Pertama ibunya (diperankan Audry Papilaya) yang selalu ingin anaknya bisa sekolah. Kedua Pak guru (Mathias Muchus) yang mengajar di sekolah darurat. Dari guru itu Denias mendapat kisah dan semangat Jack dan Kacang Polong itu. Dia ingin seperti Jack yang melihat dunia setelah memanjat pohon kacang yang tumbuh ke langit. Pohon itu adalah pendidikan.

Satu lagi Maleo (diperankan Ari Sihasale) seorang tentara yang selalu membantunya belajar. Darinya Denias jadi tahu bahwa Papua adalah bagian dari wilayah Indonesia yang luas. Sayang, cita-cita itu mendapat tantangan dari adat. "Hanya anak orang yang punya uang banyak yang bisa sekolah di sana." Sebuah diskriminasi yang juga masih dirasakan anak-anak Indonesia di wilayah lain. Bahkan ayah (Michael Jakariminela) Denias lebih suka anak lelaki membantunya di ladang. Perut lebih penting dari otak.

Denias nyaris putus asa. Apalagi kemudian ketiga orang yang menyemangatinya satu persatu pergi. Namun pesan ketiga orang itu agar Denias tetap bersekolah membangkitkannya. Dia pun kabur dari rumah. Tujuannya adalah bersekolah, meski untuk itu dia harus melewati gunung, hutan, sungai dan lembah hingga berhari-hari. Bekalnya adalah sebuah peta Indonesia dari kardus bekas yang diberikan Maleo. Ternyata, pengorbanan itu pun belum cukup.

Denias sempat terlunta lunta di kota dan bersahabat dengan anak jalanan sebelum akhirnya dia bertemu bu guru Sam (Marcella Zalianty). Kepada guru itu Denias menuliskan kalimat di atas. Film ini memang belum berhenti sampai di sini. Perjalanan Denias untuk sekolah masih panjang. Namun penonton pasti sudah bisa menebak akhir cerita ini.


Film ini tidak saja mendramatisasi perjuangan seorang anak, tetapi juga potensi alam Papua. Hutan yang masih perawan, pegunungan yang berselimut salju, hewan langka serta adat primitif mendapat porsi cukup banyak di film ini. Dari sini juga latar belakang perlakuan diskriminasi yang dialami Denias ditampilkan. Potensi ini mungkin hanya ditemui di film Garin Nugroho yakni Biarkan Aku Menciummu Sekali Saja dan Mencari Madona.

Sang sutradara, John De Rantau mengakui dirinya memang ingin menyajikan alam Papua lengkap dengan potret kebudayaannya di film pertamanya ini. John sesungguhnya juga terlibat dalam kedua film Garin tersebut. Namun menurutnya ini film 35mm yang ber-setting alam Papua. Casting para pemain yang sebagian besar berasal dari Indonesia Timur juga mendukung cerita. Pujian terutama bagi Albert yang berhasil menghidupkan sosok Denias dengan sangat cemerlang.

Hanya saja, kisah ini mengalami kegagapan dalam bertutur. Skenario yang dikerjakan oleh Jeremias Nyangoen, Masree Ruliat, Monty Tiwa, serta John De Rantau kurang dapat menjembatani para tokoh dengan penonton. Mengapa ibu Denias begitu ingin anaknya sekolah? Mengapa Denias tiba-tiba terlibat dengan anak jalanan? Apa sebenarnya perjuangan ibu Sam agar Denias bisa diterima masuk sekolah? Padahal dia sudah ditentang kepala suku.

Kekurangan ini cukup mengganggu aliran cerita, sehingga terkesan lambat dan terputus-putus. Untunglah, terselip beberapa dialog yang lucu dan cerdas di film ini. Seperti ketika Denias melihat papan reklame sebuah produk daging impor yang dikiranya gambar anjing raksasa. Atau mengapa ayah Denias tidak mau membantunya saat berkelahi dengan kepala suku.

Selain itu indahnya alam Papua adalah sebuah kekayaan yang sayang untuk dilewatkan Apalagi itu didukung score film (digarap Dian HP) yang menghidupkan dunia anak-anak yang polos, bersahaja sekaligus penuh semangat. Semangat ini juga menjadikan kisah ini segar dan berbobot. Impian Denias untuk menjadi Jack dan Kacang Polong adalah impian dari banyak anak Indonesia. Karena itu, film yang akan mulai tayang pada 19 Oktober nanti layak untuk menjadi tontonan seluruh keluarga Indonesia. Karena impian Denias adalah impian kita juga. [Pembaruan/Stevy Widia]

sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2006/10/15/Hiburan/hib01.htm

the pursuit of happyness

Sabtu, Mei 03, 2008

Hari ini saya minta maaf karena untuk sementara waktu belum bisa opini terhadap salah satu film terbaik sepanjang massa ini. Jadi, pujian dan opini di bawah ini hanya saya kutip dari tulisan lain. selamat membaca
Sebuah Kisah nyata perjalanan seorang Ayah dan anaknya dalam menempuh pahit getirnya kehidupan hingga akhirnya hidup berkecukupan sebagai multimillionaire stockbroker di pasar saham. berkat kesabaran dan kegigihan hati seseorang Ayah demi kebahagiaan anaknya yang akhirnya menjadi sumber kekuatan tersendiri diluar batas yang mungkin dapat dibayangkan.
Film yang mengisahkan kehidupan sebenarnya dari seorang Christopher Gardner, seorang tuna wisma dan single parents yang berjuang dalam hidup bersama anaknya hingga berhasil menjadi jutawan dan CEO sebuah perusahaan stockbroker ternama di Amerika yaitu Christopher Gardner International Holdings dengan kantor yang kini tersebar di New York, Chicago, and San Francisco. Dari seorang yang miskin hingga menjadi jutawan, pastilah sebuah kisah yang sudah pasti akan mengundang rasa kagum dan menarik untuk kita ketahui. Sebuah moment yang yang mampu menyentuh emosional terdalam dan bersatu dalam sebuah konteks kehidupan spritual akan sebuah arti kehidupan itu sendiri.
Film ini secara tiba-tiba mengingatkan saya akan suatu moment dengan bekas atasan saya dahulu. Dalam suatu perjalan saya bersama Pak Thamrin (former : Dirut PT Pembangunan Pluit Jaya) mengatakan kepada saya
“Setiap orang pasti akan melewati satu point dimana dia akan menuju terus kebagian paling dasar dari hidupnya. Dan melewati satu point lagi yang akan selalu menuju bagian teratas dari hidupnya. Tapi kita hanya tidak tahu kapan dan dimana point tersebut berada.. Jadi jeli-jeli San lah dalam melihat hidup ini… karena hanya akan ada satu point yang anda akan lewati.. jangan pernah pernah menyerah maupun lupa diri saat melewati cek point anda!”
Kata-kata tersebut masih saya ingat hingga saat ini. Selama hidup saya, tidak pernah absen sekalipun saya bertanya dalam hati. Atau sekadar memflasback dan memperhatikan, did I miss my checkpoint? Where that moment which gonna change my life forever? Kebiasaan yang seakan menjadi imsonia bagi saya setiap kali merenung dan membayangkan seperti apa kehidupan saya di 10 tahun mendatang?
Mungkin ada sedikit kemiripan dengan pesan yang berusaha disampaikan oleh Chris Gardner dalam film ini. Dimana dalam suatu kesempatan di film tersebut, Chistoper’s Son yang diperankan oleh anak Will Smith sendiri menceritakan sebuah kisah lucu :
“There was a man who was drowning, and a boat came, and the man on the boat said “Do you need help?” and the man said “God will save me”. Then another boat came and he tried to help him, but he said “God will save me”, then he drowned and went to Heaven. Then the man told God, “God, why didn’t you save me?” and God said “I sent you two boats, you dummy!”
Intinya adalah Tuhan biasanya mendatangkan bantuan lewat cara-cara yang terkadang kita sendiri tidak mengetahui bahwa itu adalah bantuan. Karena bentuknya yang tidak berupa mukzizat secara langsung dan kasat mata. Tapi hanya bisa kita pahami pada saat kita memandang kebelakang hidup kita suatu saat. Sama halnya dengan Check point yang bekas atasan saya katakan. Perlu suatu kesadaran diri dan kejelian dalam melihatnya.
Turning point dalam hidup seseorang seringkali terjadi di waktu dan tempat yang kita tak pernah bayangkan. Ada saatnya kita memasuki turning point yang membawa kehidupan kita kebawah. Sama halnya yang diawali oleh Gardner. Turning point ke bawah ini berawal saat dia memutuskan untuk menjadi seorang salesman Bone Density scanner dan menginvestasikan tabungan keluarganya untuk membeli beberapa alat ini sebagai stock untuk dijual kembali secara exclusive ke medical centre di San Fransisco. Namun ditengah terpuruknya kondisi ekonomi Amerika saat itu, membuat Gardner kesulitan untuk menjual barang tersebut sebagai kompensasi untuk menutup biaya hidup mereka. Tekanan hidup dirasa semakin berat oleh keluarga Gardner, karena langkah Gardner tersebut ternyata membuat kondisi keuangan keluarga menjadi tidak stabil dan sulit. Istrinya pun mengalami kelelahan baik lahir maupun bathin karena harus bekerja double shift untuk menutupi kebutuhan rumah tangga, sehingga bayangan akan masa depan yang diharapkan diawal pernikahan seakan menjadi jauh dari jangkauan. Rasa putus asa dan lelah jiwa membuat dirinya cepat meledak-ledak dan skeptis terhadap kemampuan suaminya. Sedangkan Christopher Gradner, yang lahir pada 9 february di Milwauke tanpa pernah melihat siapa ayahnya terlahir untuk memiliki mimpi sendiri yang dia rasakan lebih penting bagi dirinya daripada hanya menjual scanner. Kehidupan keras yang dia rasakan bersama ibunya telah menempa dirinya hingga memiliki suatu “spiritual genetic” tersendiri dan mengajarkan dia suatu pelajaran berharga dalam hidup, yang tetap dia pegang hingga kini. Dia ingin menjadi seorang ayah yang dia tidak pernah miliki. Dan hal tersebut dia dedikasikan ke anaknya melaui kesabaran yang tiada batas serta kesatuan emosi dengan anaknya. Dan saat istrinya memutuskan untuk meninggalkan dia karena tidak tahan lagi akan tekanan hidup yang dimiliki, semuanya mulai berubah. Chris harus rela kehilangan mobil dan apartmentnya. Namun dia tetap bersikukuh untuk tetap dapat bersama anaknya, karena dia telah membuat keputusan dimasa kecilnya, saat dia memiliki anak nanti, dia tidak ingin anaknya tidak tahu siapa bapaknya seperti dirinya. Walaupun akhirinya, istrinya tetap meninggalkan mereka.
Saat melihat hal tersebut, hati saya seakan ikut teriris dan sedikit mengeluarkan air mata. Terlebih saat adegan dimana Chris dan anaknya harus hidup homeless dan terpaksa tidur di kamar mandi umum. Dengan air mata berlinang sambil menatap anaknya, satu tangan diberikan sebagai bantal untuk anaknya agar dapat tetap tidur nyenyak dan satu tangan lagi dikerahkan untuk menahan pintu yang tengah ingin dibuka oleh seseorang dari luar. Dia berusaha menghindari pemeriksaan petugas yang sedang memeriksa setiap malam. Wajah anaknya sudah kelelahan dan bila diusir dia tidak tahu harus tidur dimana. Sebagai orang tua, saya tahu benar apa rasanya saat itu. Karena tidak ada yang lebih menakutkan dari pada sebuah perasaan tidak berdaya untuk dapat memberikan yang terbaik untuk anak anda!
Sebagai instantnya, turning point kedua dalam hidup Gardner dan pekerjaannya terjadi diparkiran sebuah gedung. Pada saat dia memandang ke arah salah satu gedung yang berdiri megah di San Fransisko, dia melihat begitu banyak muka-muka bahagia yang keluar dari gedung tersebut. Sebuah ekspresi yang rasanya menjadi sesuatu yang mewah bagi dirinya disaat itu. Dan tiba-tiba dia melihat seseorang tengah keluar dari sebuah Mobil Ferrari yang diparkir tepat disebelahnya. Decak kagum Gardner bukanlah pada mobil tersebut, namun bagaimana orang itu mendapatkannya. Dia bertanya Wow, I gotta ask you two questions. What do you do? And how do you do that? Sebuah moment yang hingga akhirnya menjadikan pria ini seorang stockbroker dengan penghasilan USD 80.000 per bulan.
The Pursuit of happiness adalah salah satu film yang layak anda tonton. Banyak pelajaran hidup yang dapat diambil didalamnya. Menceritakan bagaimana sebuah kerja keras dan devotion seorang ayah terhadap anaknya membawa kebahagiaan pada akhirnya. Kita tidak tahu betapa mewahnya sebuah pertolongan bila kita tidak pernah kesulitan. Dan betapa indahnya kebahagiaan, bila tidak pernah merasakan penderitaan. Salah satu pelajaran hidup yang priceless.
Mungkin yang perlu kita pertanyakan dari kisah tersebut adalah bagaimana kita mengartikan sebuah kebahagiaan. Bukan hasil pencapaiannya, namun prosesnya. Karena Seorang milyuner seperti Gardner sekalipun pernah membuat keluarganya kelaparan. Pernah mengalami derita yang tak terbayangkan. Sangat beda dari film-film yang selalu berisi anak seorang kaya yang kemudian menjadi lebih kaya lagi kemudian hidup bahagia. Ini adalah cerita nyata yang juga dialami oleh ratusan juta orang di muka bumi. Apa yang dapat kita pelajari dari Chris Gardner dalam meraih kesuksesannya? Mempertahankan keluarganya? Apakah takdir yang menemukan kita ataukah kerja keras dan kesabaran yang membawa kita menuju takdir kita? Satu hal mungkin yang harus kita ingat sebagai pelajaran, kita tidak pernah tahu apa yang orang lain telah lalui ketika kita membentuk ekspektasi kita.

Jalan Dipasangi Rambu Lelucon, Dephub Geram

Sabtu, Mei 03, 2008


Minggu, 4 Mei 2008 | 07:14 WIB

Apa jadinya jika di dekat rambu lalulintas dipasangi rambu lelucon, yang isinya bisa mengudang tawa, atau paling tidak senyum dari para pengguna jalan? kalau hal itu terjadi di Jakarta, mungkin saja bisa mengurangi stres para sopir saat terjebak kemacetan.

Tapi, kasus ini terjadi di Amerika Serikat. Berangkat dari ide agar rambu-rambu lalulintas mendapat perhatian, dan keselamatan mengemudi menjadi atensi setiap orang yang berada di balik kemudi, sebuah desa di daerah Illinois "melengkapi" rambu-rambu lalu lintas di wilayah tersebut dengan rambu tambahan yang bertema humor.

Mendapat perhatian? Ya tentu. Tidak saja para pengguna jalan yang tertarik, tapi pihak Departemen Perhubungan Pemerintah Federal pun ikut "memperhatikan". Dan hasilnya, otoritas tersebut menilai apa yang dilakukan di desa Oaklawn sudah kelewat batas dan bahkan melanggar UU Federal.

Dephub memerintahkan, rambu-rambu yang jumlahnya tak kurang dari 50 buah dan memakan biaya 1.700 dollar tersebut harus segera diturunkan. Jika membantah, Oaklawn akan kehilangan pembiayaan dari pemerintah pusat. Untung saja biaya pemasangan rambu jenaka itu bukan dari pendapatan pajak, tapi dari sponsor yang ingin memakai rambu-rambu itu sebagai brosur-nya. Gagal deh ketawa-ketawa di jalan... (FOXNEWS/GLO)

sumber: kompas.com

robohnya surau kami; perspektif kuno untuk memahami dunia hari ini

Kamis, 01 Mei 2008 Kamis, Mei 01, 2008

Apa aku harus menangis atau harus tertawa karena menertawakan diri sendiri? Sulit untuk memilih jawaban diantara dua pilihan itu. Dua pilihan itu muncul ketika baru saja selesai membaca karya monumental A.A. NAVIS yang berjudul ”robohnya surau kami” cerpen yang ditulis pada tahun 1955 dan menjadi fenomenal sampai sekarang. Selain itu, cerpen yang sama juga terpilih menjadi satu dari tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah tahun 1955. Kalangan kritikus sastra mengatakan bahwa cerpen yang dinilai sangat berani dan prediktif. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin.

Coba simak cuplikan dialog yang ditulis oleh Navis:

'Kalian di dunia tinggal di mana?' tanya Tuhan.

'Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.'

'O, di negeri yang tanahnya subur itu?'

'Ya, benarlah itu, Tuhanku.'

'Tanahnya yang mahakaya-raya, penuh oleh logam, minyak dan berbagai bahan

tambang lainnya bukan?'

'Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.' Mereka mulai menjawab

serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan

yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.

'Di negeri, di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?'

'Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.'

'Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.'

’Negeri yang lama diperbudak orang lain?'

'Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.'

'Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkutnya ke negerinya,

bukan?'

'Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat

mereka itu.'

'Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi,

sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?'

'Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang

penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.'

'Engkau rela tetap melerat, bukan?'

'Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.'

'Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?'

'Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji.

Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.'

'Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?'

'Ada, Tuhanku.'

'Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja.

Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya.'

Semua jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka

sekarang apa jalan yang diredhai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga

kepastian apakah yang dikerjakannya di dunia itu salah atu benar. Tapi ia

tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang

mengiring mereka itu.

"Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?" tanya

Haji Saleh.

"Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikit pun."

Makna dari kata roboh dari judul cerpen ’robohnya surau kami’ bukan kepada hal yang bersifat fisik atau rusaknya infrastruktur surau, akan tetapi roboh dalam artian runtuhnya nilai-nilai yang berkembang di masyarakat tentang makna surau. Di minangkabau, surau tidak saja berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga merupakan tempat berlindungnya lelaki yang telah akhil baligh karena di rumah gadang tidak disediakan kamar untuk mereka tidur. Dan di surau itulah kaum lelaki mendapatkan pendidikan agama sampai kepada ilmu bela diri. Sehingga bekal itulah yang akan digunakan modal awal untuk merantau.

Kembali kepada kritik terhadap karya sastra Navis, ternyata pandangan-pandangan yang ditulisnya pada tahun 1955 itu saat ini telah terjadi tanpa adanya usaha yang serius untuk menghentikannya. Kecemasan Navis terhadap prilaku masyarakat Indonesia dan Minangkabau khususnya, ternyata telah diprediksi jauh-jauh hari sebelumnya. Jadi, jangan bilang hancurnya budaya minangkabau hanya dimulai dari hari kemaren.

Saat ini, seperti yang telah diprediksi dalam karya Navis, telah datang masanya masyarakat di negeri menghilangkan (bukan kehilangan) identitas yang dimilikinya. Masyarakat tidak lagi hidup secara sosial dan dengan sengaja mengasingkan diri dari komunitas disekelilingnya sehingga pola hidup yang mementingkan diri sendiri menjadi subur di dalam dirinya. karena prilaku itu dilakukan secara terus-menerus, maka dengan sendirinya akan menjadi karakter di dalam masyarakat itu sendiri. Jadi, ketika itu semua telah menjadi karakter, maka membutuhkan waktu yang lama untuk mengikisnya lagi yaitu sampai karakter yang ada sekarang terhimpit oleh prilaku yang baru.
Saat ini, seperti yang telah diprediksi dalam karya Navis, telah datang masanya masyarakat di negeri menghilangkan (bukan kehilangan) identitas yang dimilikinya. Masyarakat tidak lagi hidup secara sosial dan dengan sengaja mengasingkan diri dari komunitas disekelilingnya sehingga pola hidup yang mementingkan diri sendiri menjadi subur di dalam dirinya. karena prilaku itu dilakukan secara terus-menerus, maka dengan sendirinya akan menjadi karakter di dalam masyarakat itu sendiri. Jadi, ketika itu semua telah menjadi karakter, maka membutuhkan waktu yang lama untuk mengikisnya lagi yaitu sampai karakter yang ada sekarang terhimpit oleh prilaku yang baru.

Friendster News

Azizul Mendra, Lulus dari Jurusan Ilmu Politik pada tahun 2009 dengan ketertarikan pada kajian ekonomi politik. Selain aktiv berorganisasi hingga menjadi pimpinan di sana, sejak masa kuliah aktiv menulis di media massa baik lokal maupun nasional. Pernah bekerja sebagai pelaku pariwisata professional selama di Denpasar 2009, perbankan 2011 dan membangun usaha sektor sendiri UMKM di Sumatera Barat dan Jawa Barat tahun 2010-2011. Setelah itu berkarir pada Bank Mega Syariah divisi unit usaha Mikro hingga akhir tahun 2011.

Selain seringkali memenangkan kompetisi proposal yang di danai DITJEN DIKTI Kemendiknas terkait kegiatan program masyarakat hingga menjadi Finalis Pekan Ilmiah Nasional (PIMNAS) di Malang, Jawa Timur, prestasinya juga sebagai bintang aktivis kampus 2009, mahasiswa berprestasi FISIP, Univ. Andalas 2007 dan dipilih sebagai pemakalah dalam laporan penilitian terkait perantau Minangkabau di Pekanbaru pada acara Konferensi ke-9 Ilmuan Sosiologi Se-Asia Pasifik 2009 di Bali atas kerjasama Departemen Sosiologi Univ. Indonesia dengan Asia Pacific Sociological Association (APSA).
 

© Copyright digital diary 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.