Pembahasan RUU komponen cadangan atau yang lebih akrab disebut RUU wajib militer ini dimulai semenjak lahirnya UU nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang mengamanatkan TNI sebagai komponen utama dibantu oleh komponen cadangan dan komponen pendukung yang harus disiapkan sejak dini. Itu artinya, mulai sejak tahun 2003 RUU ini telah dilakukan pembahasannya oleh Dephan RI dan sampai sekarang masih mengalami penundaan karena setiap tahunnya selalu mendapatkan respon yang beragam.
Konsep RUU komponen cadangan ini diambil dari istilah pertahanan sipil (civil defense). Pertahanan sipil adalah sebuah usaha untuk menyiapkan rakyat sipil terhadap serangan militer. Istilah ini berkembang semenjak berakhirnya perang dingin untuk mempersiapkan rakyat sipil terhadap ancaman perang yang akan datang secara tiba-tiba. Pertahanan sipil ini mencakup tentang pencegahan, mitigasi, persiapan, tanggap, atau evakuasi saat darurat dan masa pemulihan setelah perang. Masalah ini telah mulai didiskusikan semenjak awal tahun 1920 tetapi mengalami perkembangan yang begitu pesat pasca ancaman perang nuklir.
Perdebatan RUU Komponen Cadangan
Poin-poin yang penting dalam RUU ini memuat tentang warga negara umur 18-45 tahun yang wajib mengikuti pendidikan latihan dasar kemiliteran, selain itu juga memuat tentang pasal-pasal Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, sarana dan prasarana milik negara, daerah, badan swasta serta perorangan dan juga tentang materi latihan, anggaran dan teknis pelaksanaan. Pada teknis pelaksanaannya akan dibibimbing oleh TNI dengan materi tentang dasar-dasar kemiliteran dilakukan selama tiga puluh hari ditahun pertama dan materi latihan penyegaran ditahun kedua juga dilakukan selama tiga puluh hari. Sedangkan anggaran untuk operasional dibebankan kepada APBN setiap tahunnya.
Selain empat hal yang akan saya jabarkan pada tulisan ini, maka saya juga melihat pada perihal anggaran inilah perdebatan yang hangat dimulai. Dari diskusi yang diadakan oleh Dephan RI dan Universitas Andalas pada lima November 2007 kemarin, terungkap bahwa alokasi anggaran untuk Dephan dan TNI tahun ini hanya 0,92 % dari Pendapatan Domestik Bruto (Pdb) dengan perincian belanja pegawai Rp. 14.641,17 milyar (44,86 %) dan baru mencapai ideal pada tahun 2020, yaitu 2 % dari Pdb. Anggaran yang ada itu digunakan untuk belanja barang dan jasa Rp. 8.060,18 milyar (24,69 %). Belanja modal Rp. 9.938,71 milyar (30,45 %). Padahal kebutuhan minimal anggaran pertahanan negara tahun anggaran 2007 (sesuai renstra Bang Hanneg thn. 2005-2009) adalah sebesar Rp. 74.479,60 milyar, tetapi alokasi anggaran Dephan dan TNI tahun anggaran 2007 hanya sebesar Rp. 32.640,06 milyar atau terealisasi 43,82 % atau naik 15,63 % dari tahun anggaran 2006 sebesar Rp. 28.229,18 milyar atau 4,27 % dari APBN tahun anggaran 2007.
Dengan dana yang ada saat ini saja, Dephan dan TNI sulit untuk melakukan modernisasi ALUTSISTA dan profesionalitas kerja bila gaji dipakai sebagai indikator penyebabnya. Apalagi ditambah dengan kalkulasi anggaran operasional wajib militer dengan total enam puluh juta per orang, sebuah pemborosan anggaran yang mubazir jika dibandingkan dengan kebutuhan yang urgent lainnya.
Untuk menyikapi RUU komponen cadangan ini, menurut hemat penulis akan ada empat masalah yang akan mengancam. Pertama, sebenarnya, perlu menyamakan paradigma kita bersama tentang konsep keamanan global. Secara sederhana, konsep keamanan global (global security) merupakan perwujudan dari terciptanya keamanan nasional yang tercipta pada masing-masing negara di dunia.
Selanjutnya, apa yang menjadi kegusaran negara-negara maju tentang konsep keamanan nasional (national security) ternyata tidak sama dengan hal yang dialami oleh negara-negara miskin. Negara-negara yang telah maju memandang isu terorisme sebagai isu utama untuk menciptakan keamanan mereka, sementara negara-negara miskin fokus kepada pencarian keadilan dalam menciptakan keamanan. Sehingga, apa yang terjadi adalah benturan-benturan kepentingan di dunia untuk menciptakan keamanan. Ini artinya, tidak ada kesamaan paradigma tentang keamanan nasional antara negara yang maju dengan negara berkembang sehingga RUU komponen cadangan untuk negara selevel Indonesia tidaklah mendesak karena kepentingan nasional negara Indonesia tidak sejalan negara-negara yang telah maju. Dan perubahan paradigma ini telah dimulai sejak terjadinya peristiwa 9/11.
Kedua, negara kita yang rawan konflik. Kondisi ini juga menjadi bahan pertimbangan utama dalam pembahasan RUU ini. Apa jadinya bila rakyat diajari ilmu berperang jika dapat mengancaman disintegrasi terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Apalagi pada Pasal 29 RUU ini dinyatakan, penggunaan komponen cadangan dalam upaya pertahanan negara hanya dapat dilakukan oleh Panglima TNI, dapat didelegasikan kepada Panglima Perang atau Pejabat lainnya dan penugasan komponen cadangan dapat dilaksanakan dalam keadaan biasa, di masa damai/ tertib sipil, darurat sipil dan keadaan darurat militer.
Ketiga, Begitu banyak PR (pekerjaan rumah) yang harus dipersiapkan oleh TNI. Reformasi TNI yang masih dalam penyempurnaan saat ini belumlah menyeluruh, proses demokratisasi akan berjalan lebih baik jika TNI telah keluar dari bidang politik dan hanya concern pada bidang pertahanan, kecuali dalam mitigasi dan rekonstruksi bencana alam karena realitas selama ini pihak TNI-lah yang berada pada garda terdepan dan itu merupakan sebuah kebijakan yang tepat. Dan keempat, RUU komponen cadangan terlalu mudah untuk membuat rakyat melakukan tindakan kriminal dengan ancaman penjara bervariasi mulai dari satu hingga dua tahun (pasal 42-46).
Tetapi, disisi lain, bila kita tetap meminjam paradigma kaum ’Realis’ dalam teori Hubungan Internasional bahwa untuk menciptakan perdamaian itu harus melalui perang (si vis pacem para belum) atau faktor geopolitik Indonesia yang menjadi pertimbangan akan menciptakan perang karena diapit oleh negara-negara persemakmuran atau commonwealth (Singapura, Malaysia, Australia, Selandia Baru dan Inggris) yang mana ketika salah satu negara diserang maka negara laiinya akan segera membantu karena negara commonwealth itu telah melakukan perjanjian pertahanan bersama (collective defense). Maka, antisipasi dan solusi terhadap ancaman serangan dari negara luar dapat dihindari ketika Indonesia benar-benar menerapkan politik luar negeri ‘bebas-aktif’ karena arah politik luar negeri Indonesia yang digagas oleh Muhammad Hatta itu masih relevan dalam konteks pola politik Internasional saat ini. Selain itu juga dikarenakan gagasan politik ‘bebas-aktif’ juga lebih cenderung pada pendekatan diplomasi (soft power) bukan kepada perang (hard power).
Oleh karena itu, apakah RUU komponen cadangan ini merupakan sebuah kebutuhan warga negara indonesia? Atau hanya akan menambah masalah yang ada? Untuk menjawab pertanyaan itu maka dibutuhkan kesamaan persepsi seluruh rakyat Indonesia, termasuk kita.
[*] Artikel ini rencananya dipresentasikan ketika menjadi ”opener” pada diskusi reguler yang diadakan oleh Komunitas Pencerahan, Jurusan Ilmu Politik, Fisip, Unand bersama Poppy Irawan S.IP. (staf pengajar pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fisip, Unand.
[*] Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik, Fisip, Unand yang juga peminat kajian Politik Internasional dan pendiri komunitas pencerahan
[*] Sumber foto dan hak cipta: http://media.photobucket.com/image/tentara%20nasional%20indonesia/balibilabong/134bindonesianforces3oa.jpg
0 komentar:
Posting Komentar