Apa aku harus menangis atau harus tertawa karena menertawakan diri sendiri? Sulit untuk memilih jawaban diantara dua pilihan itu. Dua pilihan itu muncul ketika baru saja selesai membaca karya monumental A.A. NAVIS yang berjudul ”robohnya surau kami” cerpen yang ditulis pada tahun 1955 dan menjadi fenomenal sampai sekarang. Selain itu, cerpen yang sama juga terpilih menjadi satu dari tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah tahun 1955. Kalangan kritikus sastra mengatakan bahwa cerpen yang dinilai sangat berani dan prediktif. Kisah yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka. Karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin.
Coba simak cuplikan dialog yang ditulis oleh Navis:
'Kalian di dunia tinggal di mana?' tanya Tuhan.
'Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.'
'O, di negeri yang tanahnya subur itu?'
'Ya, benarlah itu, Tuhanku.'
'Tanahnya yang mahakaya-raya, penuh oleh logam, minyak dan berbagai bahan
tambang lainnya bukan?'
'Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.' Mereka mulai menjawab
serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan
yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
'Di negeri, di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?'
'Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.'
'Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.'
’Negeri yang lama diperbudak orang lain?'
'Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.'
'Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkutnya ke negerinya,
bukan?'
'Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat
mereka itu.'
'Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi,
sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?'
'Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang
penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.'
'Engkau rela tetap melerat, bukan?'
'Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.'
'Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?'
'Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji.
Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.'
'Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?'
'Ada, Tuhanku.'
'Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja.
Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya.'
Semua jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka
sekarang apa jalan yang diredhai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga
kepastian apakah yang dikerjakannya di dunia itu salah atu benar. Tapi ia
tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang
mengiring mereka itu.
"Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?" tanya
Haji Saleh.
"Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikit pun."
Makna dari kata roboh dari judul cerpen ’robohnya surau kami’ bukan kepada hal yang bersifat fisik atau rusaknya infrastruktur surau, akan tetapi roboh dalam artian runtuhnya nilai-nilai yang berkembang di masyarakat tentang makna surau. Di minangkabau, surau tidak saja berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga merupakan tempat berlindungnya lelaki yang telah akhil baligh karena di rumah gadang tidak disediakan kamar untuk mereka tidur. Dan di surau itulah kaum lelaki mendapatkan pendidikan agama sampai kepada ilmu bela diri. Sehingga bekal itulah yang akan digunakan modal awal untuk merantau.
Kembali kepada kritik terhadap karya sastra Navis, ternyata pandangan-pandangan yang ditulisnya pada tahun 1955 itu saat ini telah terjadi tanpa adanya usaha yang serius untuk menghentikannya. Kecemasan Navis terhadap prilaku masyarakat Indonesia dan Minangkabau khususnya, ternyata telah diprediksi jauh-jauh hari sebelumnya. Jadi, jangan bilang hancurnya budaya minangkabau hanya dimulai dari hari kemaren.
Saat ini, seperti yang telah diprediksi dalam karya Navis, telah datang masanya masyarakat di negeri menghilangkan (bukan kehilangan) identitas yang dimilikinya. Masyarakat tidak lagi hidup secara sosial dan dengan sengaja mengasingkan diri dari komunitas disekelilingnya sehingga pola hidup yang mementingkan diri sendiri menjadi subur di dalam dirinya. karena prilaku itu dilakukan secara terus-menerus, maka dengan sendirinya akan menjadi karakter di dalam masyarakat itu sendiri. Jadi, ketika itu semua telah menjadi karakter, maka membutuhkan waktu yang lama untuk mengikisnya lagi yaitu sampai karakter yang ada sekarang terhimpit oleh prilaku yang baru.
0 komentar:
Posting Komentar