lamaku perhatikan pahlawan itu. ku baca berbagai puisinya, ku baca bukunya, ku dengar suaranya, ku lihat fotonya, dan banyak hal yang kuperhatikan. ternyata, tidak dapatku mengerti apa yang dia tulis, teriakan, perjuangkan dan lakukan itu. konon kabarnya dia begitu untuk memberikan semangat perlawanan yang mewakili perasaan rakyat indonesia hari itu. andai memang begitu, bagiku dia terlalu sombong dan menjadi over confident jika itu yang memotivasinya. kenapa? baca apa yang aku tulis, ikuti apa yang aku pikirkan.
pertama. saat itu--juga saat ini--masih banyak merasa nyaman dengan kondisi seburuk apapun yang terjadi di negara ini. jika dulu ada yang merasa terjajah dan tertindas, itu hanya sebagian, bung! sebagian lainnya malah merasa nyaman dengan situasi demikian karena masih bisa makan enak, tidur pulas, dan bergembira ria mengisi hari-harinya karena dengan keparat (penjajah) itu dia berkawan bukan berlawan. tidak peduli baginya menghianati bangsa sendiri. seperti itu juga hari ini. hari ini masih banyak yang merasa nyaman dimanapun dia berada karena dilindungi oleh negara, dilindungi oleh keparat lainnya, atau anda sendiri yang melindunginya. sebagian mereka itu hari ini juga masih banyak yang tidur nyenyak dan makan enak. tidak sadar mereka bahwa juga telah menghianati bangsa sendiri, durhaka kepada ibu mereka yaitu ibu pertiwi. padahal tetanggaku ada yang tidak sanggup beli nasi, tidak dapat tidur nyenak, dan tidak punya masa depan. siapa hari ini yang pantas sebut pahlawan? maka perilakunya tidak jauh beda dengan pendahulunya itu. di depan publik mereka memainkan topeng. ironisnya, topeng yang dipakainya itu lebih dari satu. sampai kapan itu terjadi? sampai mati! jadi buat apa mengkultuskan pahlawan itu terlalu berlebihan jika yang dia perjuangkan bukan seluruh ummat, tapi sekelompok ummat saja.
kedua, ada ketidakikhlasan. masih ingat dengan kata-kata/slogan seperti ini: "djas merah" atau "djangan sekali-kali melupakan sejarah" apa gunanya ini? untuk membuat mereka harus di kenang sepanjang masa, ingin merasa di hargai keringatnya itu, dan ingin sebagainya. tuhanku, semoga kau jaga aku dari keinginan itu.
tahun ini, bangsa ini memperingati seratus tahun kebangkitan nasional. slogan itu dipajang dimana-mana. disebut dalam setiap pidato. dipakai dalam kampanye. maka, semakin dekatlah dia dengan aksi membohongi diri sendiri. untuk apa? tanya pada ombak yang menghempas tiap hari yang tidak maknai esensinya. tanya pula pada matahari yang selalu membagi cahanya siang dan malam, bukan hanya siang, bung! karena malam dia menjadi bulan yang indah itu, tapi tidak pernah kita tanyakan mengapa dia begitu. hidup adalah pertanyaan. maka, hakikat mencari pertanyaan adalah untuk mencari kebenaran. ada tiga metode mencari kebenaran itu. pertama, dengan filsafat. mencari kebenaran dengan metode ini maka kita harus menjungkirbalikan badan, memutar otak 180 derajat, dan cara gila lainnya. tapi, tidak akan pernah mendapatkan kebenaran abadi. semua di ukur dengan subjektifitas masing-masing dengan parameter relativitas sehingga hancurlah dunia ini. kedua, dengan metode ilmiah. diciptakanlah lembaga yang relevan untuk mencari kebenaran. semuanya orang-orang pilihan. tapi hasilnya hanya mampu mengkotak-kotakan pikiran ini. ada ilmu sosial dan ada ilmu alam, maka akhirnya tidak ada kesatuan (unity). ketiga, dengan agama. cara ini tidak mendewakan rasionalitas dan emosionalitas pribadi, melainkan jembatan horizontal antara kita dengan tuhan. tidak bisa di tentang, tidak bisa diperdebatkan, maka inilah kebenaran absolut. akhirnya, cara apa yang kita pilih? jawab sendiri karena kita sebagian telah memilih, tapi sebagian lainnya masih belum karena apatis dengan hal-hal seperti ini.
hari ini aku menulis ini untuk menjadi bodoh, untuk membuat penyesalan, dan untuk menjadi gila untuk diriku sendiri. bukan untukmu, bukan untuk dia, dan bukan untuk mereka. harus diingat ini adalah mendraisme, ideologi berbahaya!
0 komentar:
Posting Komentar