Popular Template
Text
mendraist
Blogger News
Yahoo Messenger News
Dono Ilmu News
kenapa harus memaksakan diri?
Rabu, 07 Mei 2008 Rabu, Mei 07, 2008
hidup adalah pertanyaan
Rabu, Mei 07, 2008
Denias, senandung di atas awan
Sabtu, 03 Mei 2008 Sabtu, Mei 03, 2008
Film : Denias, Senandung di Atas Awan
Sutradara : John De Rantau
Skenario : Jeremias Nyangoen, Masree Ruliat, Monty Tiwa, John De Rantau
Pemain : Albert Fakdawer, Ari Sihasale, Marcella Zalianty, Mathias Muchus, Michael Jakariminela, Audry Papilaya, Pevita Pearce
Produksi : Alenia Pictures - EC Entertainment
Nama saya Denias. Mama saya suruh saya sekolah. Karena dia bilang gunung takut pada anak sekolah. Demikian tulis Denias, di atas buku yang diberikan Bu Sam, guru sebuah sekolah fasilitas. Tulisan itu menyiratkan impian dan semangat dari seorang anak untuk dapat bersekolah. Impian yang juga dimiliki oleh banyak anak di Indonesia saat ini.
Film Denias, Senandung di Atas Awan ini memang film yang mengusung tema tentang dunia pendidikan. Sebuah langkah yang terbilang berani, di tengah derasnya tema pop seperti horor dan cinta remaja. Mengingat produser film ini Alenia Pictures dan EC Entertainment adalah "pemain" baru di kancah perfilman nasional. Mereka menyebutnya obsesi dan idealisme untuk menampilkan sesuatu yang jarang tersentuh dan berbeda.
Film ini berdasarkan kisah nyata dari seorang anak Papua bernama Janias yang kini bersekolah di Darwin, Australia. Sosoknya ditransfer menjadi tokoh Denias (diperankan Albert Fakdawer yang selama ini dikenal sebagai juara sebuah kontes bakat bernyanyi sebuah stasiun televise). Denias berasal dari sebuah suku yang tinggal di kaki gunung Jayawijaya yang selalu diselimuti kabut. Dari sana dia membangun cita-cita melihat dunia.
Cita-cita itu juga berkat dorongan tiga orang. Pertama ibunya (diperankan Audry Papilaya) yang selalu ingin anaknya bisa sekolah. Kedua Pak guru (Mathias Muchus) yang mengajar di sekolah darurat. Dari guru itu Denias mendapat kisah dan semangat Jack dan Kacang Polong itu. Dia ingin seperti Jack yang melihat dunia setelah memanjat pohon kacang yang tumbuh ke langit. Pohon itu adalah pendidikan.
Satu lagi Maleo (diperankan Ari Sihasale) seorang tentara yang selalu membantunya belajar. Darinya Denias jadi tahu bahwa Papua adalah bagian dari wilayah Indonesia yang luas. Sayang, cita-cita itu mendapat tantangan dari adat. "Hanya anak orang yang punya uang banyak yang bisa sekolah di sana." Sebuah diskriminasi yang juga masih dirasakan anak-anak Indonesia di wilayah lain. Bahkan ayah (Michael Jakariminela) Denias lebih suka anak lelaki membantunya di ladang. Perut lebih penting dari otak.
Denias nyaris putus asa. Apalagi kemudian ketiga orang yang menyemangatinya satu persatu pergi. Namun pesan ketiga orang itu agar Denias tetap bersekolah membangkitkannya. Dia pun kabur dari rumah. Tujuannya adalah bersekolah, meski untuk itu dia harus melewati gunung, hutan, sungai dan lembah hingga berhari-hari. Bekalnya adalah sebuah peta Indonesia dari kardus bekas yang diberikan Maleo. Ternyata, pengorbanan itu pun belum cukup.
Denias sempat terlunta lunta di kota dan bersahabat dengan anak jalanan sebelum akhirnya dia bertemu bu guru Sam (Marcella Zalianty). Kepada guru itu Denias menuliskan kalimat di atas. Film ini memang belum berhenti sampai di sini. Perjalanan Denias untuk sekolah masih panjang. Namun penonton pasti sudah bisa menebak akhir cerita ini.
Film ini tidak saja mendramatisasi perjuangan seorang anak, tetapi juga potensi alam Papua. Hutan yang masih perawan, pegunungan yang berselimut salju, hewan langka serta adat primitif mendapat porsi cukup banyak di film ini. Dari sini juga latar belakang perlakuan diskriminasi yang dialami Denias ditampilkan. Potensi ini mungkin hanya ditemui di film Garin Nugroho yakni Biarkan Aku Menciummu Sekali Saja dan Mencari Madona.
Sang sutradara, John De Rantau mengakui dirinya memang ingin menyajikan alam Papua lengkap dengan potret kebudayaannya di film pertamanya ini. John sesungguhnya juga terlibat dalam kedua film Garin tersebut. Namun menurutnya ini film 35mm yang ber-setting alam Papua. Casting para pemain yang sebagian besar berasal dari Indonesia Timur juga mendukung cerita. Pujian terutama bagi Albert yang berhasil menghidupkan sosok Denias dengan sangat cemerlang.
Hanya saja, kisah ini mengalami kegagapan dalam bertutur. Skenario yang dikerjakan oleh Jeremias Nyangoen, Masree Ruliat, Monty Tiwa, serta John De Rantau kurang dapat menjembatani para tokoh dengan penonton. Mengapa ibu Denias begitu ingin anaknya sekolah? Mengapa Denias tiba-tiba terlibat dengan anak jalanan? Apa sebenarnya perjuangan ibu Sam agar Denias bisa diterima masuk sekolah? Padahal dia sudah ditentang kepala suku.
Kekurangan ini cukup mengganggu aliran cerita, sehingga terkesan lambat dan terputus-putus. Untunglah, terselip beberapa dialog yang lucu dan cerdas di film ini. Seperti ketika Denias melihat papan reklame sebuah produk daging impor yang dikiranya gambar anjing raksasa. Atau mengapa ayah Denias tidak mau membantunya saat berkelahi dengan kepala suku.
Selain itu indahnya alam Papua adalah sebuah kekayaan yang sayang untuk dilewatkan Apalagi itu didukung score film (digarap Dian HP) yang menghidupkan dunia anak-anak yang polos, bersahaja sekaligus penuh semangat. Semangat ini juga menjadikan kisah ini segar dan berbobot. Impian Denias untuk menjadi Jack dan Kacang Polong adalah impian dari banyak anak Indonesia. Karena itu, film yang akan mulai tayang pada 19 Oktober nanti layak untuk menjadi tontonan seluruh keluarga Indonesia. Karena impian Denias adalah impian kita juga. [Pembaruan/Stevy Widia]
sumber: http://www.suarapembaruan.com/News/2006/10/15/Hiburan/hib01.htm
the pursuit of happyness
Sabtu, Mei 03, 2008
Film yang mengisahkan kehidupan sebenarnya dari seorang Christopher Gardner, seorang tuna wisma dan single parents yang berjuang dalam hidup bersama anaknya hingga berhasil menjadi jutawan dan CEO sebuah perusahaan stockbroker ternama di Amerika yaitu Christopher Gardner International Holdings dengan kantor yang kini tersebar di New York, Chicago, and San Francisco. Dari seorang yang miskin hingga menjadi jutawan, pastilah sebuah kisah yang sudah pasti akan mengundang rasa kagum dan menarik untuk kita ketahui. Sebuah moment yang yang mampu menyentuh emosional terdalam dan bersatu dalam sebuah konteks kehidupan spritual akan sebuah arti kehidupan itu sendiri.
Film ini secara tiba-tiba mengingatkan saya akan suatu moment dengan bekas atasan saya dahulu. Dalam suatu perjalan saya bersama Pak Thamrin (former : Dirut PT Pembangunan Pluit Jaya) mengatakan kepada saya
“Setiap orang pasti akan melewati satu point dimana dia akan menuju terus kebagian paling dasar dari hidupnya. Dan melewati satu point lagi yang akan selalu menuju bagian teratas dari hidupnya. Tapi kita hanya tidak tahu kapan dan dimana point tersebut berada.. Jadi jeli-jeli San lah dalam melihat hidup ini… karena hanya akan ada satu point yang anda akan lewati.. jangan pernah pernah menyerah maupun lupa diri saat melewati cek point anda!”
Kata-kata tersebut masih saya ingat hingga saat ini. Selama hidup saya, tidak pernah absen sekalipun saya bertanya dalam hati. Atau sekadar memflasback dan memperhatikan, did I miss my checkpoint? Where that moment which gonna change my life forever? Kebiasaan yang seakan menjadi imsonia bagi saya setiap kali merenung dan membayangkan seperti apa kehidupan saya di 10 tahun mendatang?
Mungkin ada sedikit kemiripan dengan pesan yang berusaha disampaikan oleh Chris Gardner dalam film ini. Dimana dalam suatu kesempatan di film tersebut, Chistoper’s Son yang diperankan oleh anak Will Smith sendiri menceritakan sebuah kisah lucu :
“There was a man who was drowning, and a boat came, and the man on the boat said “Do you need help?” and the man said “God will save me”. Then another boat came and he tried to help him, but he said “God will save me”, then he drowned and went to Heaven. Then the man told God, “God, why didn’t you save me?” and God said “I sent you two boats, you dummy!”
Intinya adalah Tuhan biasanya mendatangkan bantuan lewat cara-cara yang terkadang kita sendiri tidak mengetahui bahwa itu adalah bantuan. Karena bentuknya yang tidak berupa mukzizat secara langsung dan kasat mata. Tapi hanya bisa kita pahami pada saat kita memandang kebelakang hidup kita suatu saat. Sama halnya dengan Check point yang bekas atasan saya katakan. Perlu suatu kesadaran diri dan kejelian dalam melihatnya.
Jalan Dipasangi Rambu Lelucon, Dephub Geram
Sabtu, Mei 03, 2008
Apa jadinya jika di dekat rambu lalulintas dipasangi rambu lelucon, yang isinya bisa mengudang tawa, atau paling tidak senyum dari para pengguna jalan? kalau hal itu terjadi di Jakarta, mungkin saja bisa mengurangi stres para sopir saat terjebak kemacetan.
Tapi, kasus ini terjadi di Amerika Serikat. Berangkat dari ide agar rambu-rambu lalulintas mendapat perhatian, dan keselamatan mengemudi menjadi atensi setiap orang yang berada di balik kemudi, sebuah desa di daerah Illinois "melengkapi" rambu-rambu lalu lintas di wilayah tersebut dengan rambu tambahan yang bertema humor.
Mendapat perhatian? Ya tentu. Tidak saja para pengguna jalan yang tertarik, tapi pihak Departemen Perhubungan Pemerintah Federal pun ikut "memperhatikan". Dan hasilnya, otoritas tersebut menilai apa yang dilakukan di desa Oaklawn sudah kelewat batas dan bahkan melanggar UU Federal.
Dephub memerintahkan, rambu-rambu yang jumlahnya tak kurang dari 50 buah dan memakan biaya 1.700 dollar tersebut harus segera diturunkan. Jika membantah, Oaklawn akan kehilangan pembiayaan dari pemerintah pusat. Untung saja biaya pemasangan rambu jenaka itu bukan dari pendapatan pajak, tapi dari sponsor yang ingin memakai rambu-rambu itu sebagai brosur-nya. Gagal deh ketawa-ketawa di jalan... (FOXNEWS/GLO)
robohnya surau kami; perspektif kuno untuk memahami dunia hari ini
Kamis, 01 Mei 2008 Kamis, Mei 01, 2008
Coba simak cuplikan dialog yang ditulis oleh Navis:
'Kalian di dunia tinggal di mana?' tanya Tuhan.
'Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di
'O, di negeri yang tanahnya subur itu?'
'Ya, benarlah itu, Tuhanku.'
'Tanahnya yang mahakaya-raya, penuh oleh logam, minyak dan berbagai bahan
tambang lainnya bukan?'
'Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.' Mereka mulai menjawab
serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan
yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
'Di negeri, di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?'
'Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.'
'Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.'
’Negeri yang lama diperbudak orang lain?'
'Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.'
'Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkutnya ke negerinya,
bukan?'
'Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat
mereka itu.'
'Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi,
sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?'
'Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang
penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.'
'Engkau rela tetap melerat, bukan?'
'Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.'
'Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?'
'Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji.
Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.'
'Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal di samping beribadat. Bagaimana engkau bisa beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja.
Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya.'
Semua jadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka
sekarang apa jalan yang diredhai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga
kepastian apakah yang dikerjakannya di dunia itu salah atu benar. Tapi ia
tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang
mengiring mereka itu.
"Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?" tanya
Haji Saleh.
"Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikit pun."
Makna dari kata roboh dari judul cerpen ’robohnya surau kami’ bukan kepada hal yang bersifat fisik atau rusaknya infrastruktur surau, akan tetapi roboh dalam artian runtuhnya nilai-nilai yang berkembang di masyarakat tentang makna surau. Di minangkabau, surau tidak saja berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga merupakan tempat berlindungnya lelaki yang telah akhil baligh karena di rumah gadang tidak disediakan kamar untuk mereka tidur. Dan di surau itulah kaum lelaki mendapatkan pendidikan agama sampai kepada ilmu bela diri. Sehingga bekal itulah yang akan digunakan modal awal untuk merantau.
Kembali kepada kritik terhadap karya sastra Navis, ternyata pandangan-pandangan yang ditulisnya pada tahun 1955 itu saat ini telah terjadi tanpa adanya usaha yang serius untuk menghentikannya. Kecemasan Navis terhadap prilaku masyarakat