Konferensi pada tanggal 3-14 Desember ini akan menulis sejarah baru untuk dunia Internasional, dan sejarah itu diciptakan di Bali, Indonesia, karena diadakannya Konferensi Dunia untuk Perubahan Iklim (UNFCCC)। Artinya, pertemuan ini menjadikan Indonesia untuk kedua kalinya menjadi tuan rumah dalam pertemuan yang juga tingkat dunia setelah Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1956 dengan isu-isu yang juga melibatkan antar bangsa.
Konferensi perubahan iklim yang sedang berlangsung dalam beberapa hari ini merupakan lanjutan dari pertemuan tingkat dunia di Amerika Serikat yang telah dilaksanakan pada beberapa bulan kemarin. Lantas, kapan perjuangan tentang perubahan iklim ini dimulai? apa manfaat yang didapatkan oleh Indonesia maupun dunia Internasional? Dan apa metode terbaru dalam mengkampanyekan anti-global warming?
Perjuangan panjang
Pada tahun 1960-an hingga 1970-an, arah kebijakan politik dunia mulai mengalami pergeseran. Awalnya, kesadaran akan pentingnya kelangsungan hidup hanya disadari oleh sebagian kecil aktivis lingkungan. Hal itu didasari oleh kecemasan mereka tentang rusaknya lingkungan hidup di masa depan yang dapat mempengaruhi iklim global. Pemicu rusaknya iklim global itu disebabkan oleh aktivitas industri dari negara-negara di Eropa dan Amerika yang tidak memperhatikan lingkungan hidup pada setiap aktivitas industri mereka yang telah berlangsung sejak revolusi industri di Inggris pada abad ke-19.
Perjuangan kaum minoritas itu terus beraksi sampai akhirnya eksistensi mereka diakui oleh PBB dengan terealiasasinya konferensi lingkungan hidup PBB untuk pertama kalinya di Stockholm (Swedia) pada tahun 1972 yang membahas Hukum Internasional tentang lingkungan hidup. Kemudian, perjuangan aktivis itu tidak hanya berhenti pada titik itu karena masih dilanjutkan pada dekade 90-an yang melahirkan Protokol Kyoto. Kesepakatan di Kyoto itu mengharuskan negara-negara industri maju mengurangi emisi karbon yang dihasilkannya dan kemudian negara-negara non-industri memperoleh kompensasi dari negara industri maju untuk melestarikan hutannya.
Bahkan sampai hari ini, aktitivitas penyelamatan lingkungan hidup masih terus berlanjut. Isu itu menjadi populer lagi ketika Al-Gore yang juga mantan Wapres Amerika Serikat membuat film dokumenter tentang global warming yang berjudul ”The incovenient truth”. Kemudian, melalui film itu juga beberapa penghargaan diraihnya mulai dari International Emmy Founders Award, Piala Oscar di bidang film dokumenter sampai akhirnya meraih nobel perdamian 2007.
Manfaat untuk Bali dan Dunia
Saya melihat konferensi ini akan memberi manfaat setidak-tidaknya dalam dua hal. Pertama, untuk Bali dan kedua untuk Dunia Internasional. Untuk Bali, manfaat yang didapatkan adalah promosi pariwisata gratis. Promosi wisata itu langsung dinikmati oleh dunia Internasional melalui belasan ribu peserta bersama ribuan wartawan yang mengikuti konferensi karena secara otomatis mereka menjadi duta pariwisata Bali kepada negara mereka masing-masing.
Selain benefit promosi gratis, maka aktivitas perekonomian di Bali pun mengalami pertumbuhan yang signifikan. Belasan ribu undangan itu akan mengeluarkan cost yang begitu besar agar bisa hadir sebagai peserta. Namun, dibalik manfaat diatas, terkandung juga tantangan yang begitu besar untuk Bali saat ini. Tantangan itu adalah tentang kemampuan Bali yang menjadikan konferensi ini terlaksana dengan sukses ketika parameter yang digunakan adalah keamanan dan kenyamanan peserta selama konferensi. Jika tidak, ini akan menjadi bumerang untuk Bali yang mengakibatkan dunia Internasional akan memandang sinis kepada Indonesia karena Bali merupakan etalase bagi peserta dan dunia Internasional untuk mengenal Indonesia secara umum.
Sebagai tuan rumah, apapun agenda yang diajukan oleh Indonesia diharapkan membawa sebuah pencerahan kepada dunia Internasional. Dengan agenda itu, maka itulah manfaat kedua yang dirasakan oleh dunia Internasional melalui lahirnya kesepakatan baru tentang gerakan anti-global warming। Apapun hasil dari keputusan ini nantinya tentu saja menciptakan sebuah konsesus yang harus dijalani semua negara di dunia ini sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak mau meratifikasi kesepakatan ini karena kita semua berada di bumi yang sama.
Metode terbaru dalam kampanye anti-global warming
Pada mulanya, gerakan aktivis lingkungan ini hanya bersifat konvensional yaitu dengan melakukan kampanye tentang lingkungan hidup dengan turun ke jalan-jalan melalui perwakilan organisasi lingkungan hidup di berbagai negara. Tetapi, pada dekade 80-an perjungan kaum minoritas itu beralih kepada cara-cara yang lebih modern. Sehingga akhirnya pilihan untuk mendirikan partai politik pun menjadi sebuah keharusan.
Pilihan itu diambil karena mereka sadar bahwa dimanapun di dunia ini tidak ada demokrasi modern yang tidak menganut sistem kepartaian. Selain itu, mereka juga memandang cara yang paling efektif untuk terus bergerak yaitu dengan cara masuk kedalam lingkungan praktis dan masuk kedalam sistem politik, atau mencari kekuasaan formal dalam setiap ruang politik agar perjuangan mereka dapat diartikulasikan melalui kebijakan politik.
Sekarang, partai-partai yang concern dalam bidang ekologi itu lebih akrab disebut dengan partai hijau (green party). Pada dekade 80-an metamorfosis itu telah dimulai di Jerman, partai hijau Jerman yang disebut dengan german greens mampu memenangkan 27 kursi di parlemen jerman (bundestag) yang kemudian jadi inspirasi bagi negara-negara di Eropa lainnya dan juga merambah ke Amerika Serikat. Ternyata, kehadiran partai hijau ini mampu merebut pemilih sebagai partai dengan mengusung gerakan perlawanan alternatif di saat partai konvensional lainnya yang hanya sibuk memperjuangkan kepentingan partai yang pragmatis.
artikel ini pernah di muat di harian padang ekspres, desember, 2007
0 komentar:
Posting Komentar